Minggu, 28 Desember 2014

Tidak Disiplin dalam Berlalu Lintas

 
 
Kendaraan bermotor adalah sebuah teknologi. Untuk mengemudikan kendaraan bermotor di dalam populasi yang padat namun masih tetap nyaman dibutuhkan budaya berlalu lintas. Teknologi dapat dibeli, tetapi budaya harus dipelajari.
 
Lalu lintas yang semrawut selalu terjadi di Jakarta. Setiap pagi sewaktu berangkat kerja atau mengantarkan anak ke sekolah selalu harus 'berjuang keras' di lahan yang terbatas, seperti perjuangan antara hidup dan mati. Kendaraan yang berhenti sejenak di depan selalu diklakson dengan keras-keras, bahkan kadang-kadang dicaci-maki seolah-olah kendaraan tersebut akan berhenti di sana selamanya dan Anda terperangkap di belakangnya. Jalan dengan tiga jalur yang disediakan diisi dengan enam kendaraan berjejer, belum lagi ada sepeda motor yang menyelinap di antaranya. Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh 20 menit waktu pukul 4.00 pagi, bisa menjadi 2-3 jam waktu pukul 7-9 pagi. Tentu saja membuat orang stres dan marah-marah.
 
Disiplin dalam berlalu lintas adalah suatu budaya. Memiliki kendaraan adalah membeli teknologi. Karena ekonomi, maka seseorang dapat membeli teknologi, tetapi tidak mungkin membeli atau memiliki budaya berlalu lintas sekaligus.
Di Amerika, orang memiliki disiplin berlalu lintas, karena mobil dan segala perangkat yang menyertainya, seperti lampu lalu lintas, berkembang dari sini. Mereka memulainya dari kereta kuda, kemudian digantikan dengan mobil. Perkembangannya membutuhkan waktu lebih dari seratus tahun. Bersama dengan perkembangan kendaraan, maka tumbuhlah budaya berlalu lintas. Oleh karena itu, disiplin berlalulintas di sini tetap dipatuhi, walaupun di kota-kota besar terjadi kemacetan, dan ada orang-orang yang stres sehingga membunyikan klakson, tetapi mereka tidak pernah menyerobot ke kiri dan kanan seperti kebanyakan pengemudi di Jakarta.

Di Jakarta, tempo doeloe juga orang naik kereta kuda dan sepeda dan becak. Dari sini kemudian muncul satu dua mobil yang hanya sanggup dibeli oleh orang kaya atau pembesar. Namun pertumbuhan kendaraan bermotor terjadi dengan cepat ketika ekonomi makin membaik, terutama ketika kendaraan tersebut berubah menjadi sumber mata pencaharian. Angkutan kota atau sering disebut angkot sebenarnya mengambil budaya pedagang asongan di jalan raya. Yang ditawarkan adalah layanan angkutan. Perhatikan bagaimana supir-supir angkot tersebut menjajakan jasa angkutannya, setiap ada calon penumpang, langsung saja banting setir ke kiri dan berhenti, sehingga orang dibelakangnya kewalahan mengerem takut menabraknya.

Kalau mereka mengetem menunggu penumpang juga mengambil sikap sebagai pedagang asongan. Mereka berhenti berjajar-jajar tak teratur memenuhi jalanan dan mengambil badan jalan sehingga jalan yang sempit dan penuh lubang makin sempit dan makin macet. Itu adalah salah satu kesalahannya. Memegang kemudi mobil, menjual jasa angkutan, tetapi mengambil budaya pedagang asongan.

Bandingkan dengan pedagang asongan yang jalan di depan rumah kita, seperti nasgor atau migor, atau bakmi tek-tek, mereka akan jalan pelan-pelan sambil mata dan telinganya melihat ke kiri dan kanan, begitu ada yang memanggil, langsung saja berbelok ke situ dan berhenti.
Pemilik dan supir mobil pribadi juga tidak pernah tumbuh dari budaya disiplin berlalulintas dengan mobil. Ada sementara yang belajar dari supir angkot, atau supir taksi. Di samping itu pemerintah, terutama Departemen Pendidikan tidak terlalu serius dalam menerapkan budaya berlalu lintas. Ingatlah suatu budaya adalah pengetahuan yang dipelajari yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, demikian definisi yang diajarkan dalam buku sosiologi. Jadi, kalau sekolah yang seharusnya mendidik anak-anak murid tanpa pernah menurunkan budaya berlalu lintas yang benar, maka budaya berlalu lintas tentu tidak akan pernah ada, sekalipun seseorang itu sanggup membeli kendaraan yang paling mahal, seperti Lamborghini, Ferrari, Maybach dan lain-lain. Teknologi dapat dibeli, kebudayaan harus dipelajari.

Contoh lain adalah seorang pemenang undian $1,000,000,000 tidak serta merta dapat membaur dengan orang-orang kaya. Orang itu baru dapat diterima di kalangan orang kaya bila dia rajin mempelajari budaya orang kaya, misalnya tata krama di meja makan. Orang yang menang undian tersebut mungkin biasa makan di warung Padang di kaki lima. Bila makan, dia nangkring di atas bangku yang disediakan di situ dan itu wajar, tetapi, karena sekarang dia adalah orang kaya mendadak, kebiasaan tersebut harus ditinggalkan, kalau dia ingin diterima di antara orang kaya.
Sudah sekolah tidak pernah menurunkan budaya berlalu lintas yang sopan, kepolisian juga tidak mewajibkan calon pengemudi mengambil kursus mengemudi mobil yang berbudaya berlalu lintas yang sopan. Kursus mobil di Jakarta hanyalah mengajarkan calon pengemudi untuk piawai dalam mengendalikan kendaraannya. Kepolisian hanyalah sebuah badan yang menerbitkan lisensi mengemudikan kendaraan bermotor. Jadi, apalagi yang diharapkan dari masyarakat seperti itu dalam hal berlalu lintas?

Tidak ada solusi yang sederhana, tetapi sekadar saran. Karena berlalu lintas secara sopan adalah suatu budaya, maka setiap individu yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib belajar berlalu lintas secara sopan. Mempelajari budaya tersebut harus dimulai dari dini dan yang paling tepat adalah dari sekolah. Pihak kepolisian dan pemerintah wajib memiliki kemauan politik untuk menerapkan tata krama berlalu lintas sopan itu tadi. Pekerjaan rumah masih banyak dan banyak bidang yang harus diberesi, sekarang terserah kepada semua individu yang terlibat.

 Sumber: http://keluarga.com/pertumbuhan/tidak-disiplin-dalam-berlalu-lintas, gambar : thestar.com

0 komentar:

Posting Komentar