Sebagai istri dan ibu, perempuan adalah tokoh sentral dalam keluarga
yang memberi andil sangat besar terhadap arah perkembangan keluarga.
Dari sini, penanaman nilai-nilai kebaikan termasuk di dalamnya nilai
kejujuran dan anti korupsi, disemaikan sejak dini oleh seorang ibu.
Seperti yang dialami oleh Mutia Hatta, anak sulung Bung Hatta yang mengisahkan pendidikan anti korupsi yang didapatnya dari rumah, sejak kecil, dan kini ia terapkan pula dalam mendidik anak-anaknya.
Mutia mengisahkan ini dalam bincang-bincang di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK hari ini meluncurkan gerakan "Saya, Perempuan Anti Korupsi" dengan menyiapkan 3 tools, yakni: buku panduan, games, dan video. Sebelum peluncuran 3 tools tersebut, KPK menggelar bincang-bincang bersama Mutia Hatta, Petty S. Fatimah (Editor in Chief Femina), Yuyun (perwakilan Organisasi Perempuan), dan Dian Kartika Sari dari Koalisi Perempuan Indonesia.
Berikut ini adalah kisah yang dituturkan oleh Mutia Hatta, yang bisa Anda terapkan dalam keluarga:
"Inilah yang dijalankan dalam rumah tangga orangtua saya, ketika saya dan adik-adik masih kanak-kanak. Sejak kecil kami diatur tentang disiplin dalam melakukan kegiatan sehari-hari, terutama saya sebagai anak sulung yang selama lima tahun menjadi anak tunggal, sebelum kelahiran adik-adik. Dari kecil saya ditunjukkan bahwa mobil RI-2 hanya dipakai oleh ayah karena beliau adalah wakil Presiden RI. Saya juga melihat sendiri bahwa ibu pun tidak naik mobil itu kecuali jika ibu pergi bersama ayah. Saya, kakek dan nenek dari pihak ibu saya, jika bersama ibu, akan menggunakan mobil pribadi. Hal ini merupakan pelajaran pertama saya mengenal istilah 'mobil dinas'. Ketika sekian tahun kemudian saya menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, saya juga menerapkan aturan penggunaan mobil dinas saya sesuai aturan yang berlaku.
Sejak kecil kami diajar jujur. Kami tidak boleh berbohong. Kami juga takut berbohong karena tidak pernah melihat orangtua berbohong terhadap kami, dalam arti berbohong dengan menjanjikan sesuatu yang akhirnya tidak dipenuhi. Seingat saya, orangtua saya tidak pernah menjanjikan sesuatu. Namun ayah atau ibu memberikan sesuatu barang, misalnya satu set jangka, sambil mengatakan "Kamu sudah naik kelas, jadi ini buat kamu, karena di kelas baru kamu akan diajar membuat lingkaran dengan jangka ini."
Kami anak-anak, terutama saya sebagai sulung, sudah lebih dahulu diajar jujur dalam urusan uang. Ketika saya sudah duduk di kelas 4, saya sering mendapat tugas mencatat barang-barang belanjaan rumah tangga pada hari itu. Saya (dan kemudian juga adik-adik) dilatih untuk mencatat, berapa banyak uang yang diserahkan kepada tukang masak kami, Mbah Suyatmi Surip, dan apa yang dibelinya. Ia buta huruf tetapi tahu betul mengenai berhitung dan nominal mata uang. Semua barang belanjaan dicatat dalam buku khusus sesuai klasifikasi barang belanjaan. Harga-harga dijumlah, kemudian sisa uang dihitung, dicatat dan seluruh sisa uang dikembalikan kepada ibu atau ayah, tergantung siapa yang melatih saya pada hari itu. Tidak ada toleransi terhadap kekurangan antara uang belanja dan pengeluaran, bon-bon harus diperiksa lagi, sisa uang dihitung dengan teliti.
Demikian pula kalau ayah atau ibu memberikan kami uang untuk belanja pakaian, sepatu, buku pelajaran, alat-alat tulis, dll. Semua barang belanjaan ditulis, dijumlah, dihitung sisanya, dan dikembalikan, tidak boleh kurang sesen pun juga. Semua ini tidak lain adalah latihan kejujuran bagi kami untuk mengembalikan uang dengan tepat. Maka terasa oleh saya, betapa latihan dari ayah dan ibu saya yang dulu kami anggap pekerjaan biasa, ternyata telah mendidik kebiasaan sampai kami dewasa, bahwa kami harus teliti dalam penggunaan uang.
Sejak kecil kami juga sudah dididik untuk tepat waktu, walaupun sekarang hal itu sering tidak terjadi, yang bukan karena kesalahan kami, tetapi memang karena tidak cukup waktu untuk mencapainya. Sedikit banyak, pendidikan tepat wkatu juga mendorong berkurangnya 'korupsi waktu'. Kita dapat menghindarkan terlalu banyak waktu dihabiskan untuk pekerjaan A, tetapi kurang waktu untuk pekerjaan B. Jangan sampai urusan terdahulu menghambat kelancaran pekerjaan berikutnya."
(Tenni Purwanti-Pesona.co.id)Seperti yang dialami oleh Mutia Hatta, anak sulung Bung Hatta yang mengisahkan pendidikan anti korupsi yang didapatnya dari rumah, sejak kecil, dan kini ia terapkan pula dalam mendidik anak-anaknya.
Mutia mengisahkan ini dalam bincang-bincang di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK hari ini meluncurkan gerakan "Saya, Perempuan Anti Korupsi" dengan menyiapkan 3 tools, yakni: buku panduan, games, dan video. Sebelum peluncuran 3 tools tersebut, KPK menggelar bincang-bincang bersama Mutia Hatta, Petty S. Fatimah (Editor in Chief Femina), Yuyun (perwakilan Organisasi Perempuan), dan Dian Kartika Sari dari Koalisi Perempuan Indonesia.
Berikut ini adalah kisah yang dituturkan oleh Mutia Hatta, yang bisa Anda terapkan dalam keluarga:
"Inilah yang dijalankan dalam rumah tangga orangtua saya, ketika saya dan adik-adik masih kanak-kanak. Sejak kecil kami diatur tentang disiplin dalam melakukan kegiatan sehari-hari, terutama saya sebagai anak sulung yang selama lima tahun menjadi anak tunggal, sebelum kelahiran adik-adik. Dari kecil saya ditunjukkan bahwa mobil RI-2 hanya dipakai oleh ayah karena beliau adalah wakil Presiden RI. Saya juga melihat sendiri bahwa ibu pun tidak naik mobil itu kecuali jika ibu pergi bersama ayah. Saya, kakek dan nenek dari pihak ibu saya, jika bersama ibu, akan menggunakan mobil pribadi. Hal ini merupakan pelajaran pertama saya mengenal istilah 'mobil dinas'. Ketika sekian tahun kemudian saya menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, saya juga menerapkan aturan penggunaan mobil dinas saya sesuai aturan yang berlaku.
Sejak kecil kami diajar jujur. Kami tidak boleh berbohong. Kami juga takut berbohong karena tidak pernah melihat orangtua berbohong terhadap kami, dalam arti berbohong dengan menjanjikan sesuatu yang akhirnya tidak dipenuhi. Seingat saya, orangtua saya tidak pernah menjanjikan sesuatu. Namun ayah atau ibu memberikan sesuatu barang, misalnya satu set jangka, sambil mengatakan "Kamu sudah naik kelas, jadi ini buat kamu, karena di kelas baru kamu akan diajar membuat lingkaran dengan jangka ini."
Kami anak-anak, terutama saya sebagai sulung, sudah lebih dahulu diajar jujur dalam urusan uang. Ketika saya sudah duduk di kelas 4, saya sering mendapat tugas mencatat barang-barang belanjaan rumah tangga pada hari itu. Saya (dan kemudian juga adik-adik) dilatih untuk mencatat, berapa banyak uang yang diserahkan kepada tukang masak kami, Mbah Suyatmi Surip, dan apa yang dibelinya. Ia buta huruf tetapi tahu betul mengenai berhitung dan nominal mata uang. Semua barang belanjaan dicatat dalam buku khusus sesuai klasifikasi barang belanjaan. Harga-harga dijumlah, kemudian sisa uang dihitung, dicatat dan seluruh sisa uang dikembalikan kepada ibu atau ayah, tergantung siapa yang melatih saya pada hari itu. Tidak ada toleransi terhadap kekurangan antara uang belanja dan pengeluaran, bon-bon harus diperiksa lagi, sisa uang dihitung dengan teliti.
Demikian pula kalau ayah atau ibu memberikan kami uang untuk belanja pakaian, sepatu, buku pelajaran, alat-alat tulis, dll. Semua barang belanjaan ditulis, dijumlah, dihitung sisanya, dan dikembalikan, tidak boleh kurang sesen pun juga. Semua ini tidak lain adalah latihan kejujuran bagi kami untuk mengembalikan uang dengan tepat. Maka terasa oleh saya, betapa latihan dari ayah dan ibu saya yang dulu kami anggap pekerjaan biasa, ternyata telah mendidik kebiasaan sampai kami dewasa, bahwa kami harus teliti dalam penggunaan uang.
Sejak kecil kami juga sudah dididik untuk tepat waktu, walaupun sekarang hal itu sering tidak terjadi, yang bukan karena kesalahan kami, tetapi memang karena tidak cukup waktu untuk mencapainya. Sedikit banyak, pendidikan tepat wkatu juga mendorong berkurangnya 'korupsi waktu'. Kita dapat menghindarkan terlalu banyak waktu dihabiskan untuk pekerjaan A, tetapi kurang waktu untuk pekerjaan B. Jangan sampai urusan terdahulu menghambat kelancaran pekerjaan berikutnya."
0 komentar:
Posting Komentar