"Saya nggak keberatan cuci baju seember besar. Tapi kalau menyetrika
baju, aduh, maleees… banget!”, begitu tertulis di sebuah akun Facebook.
Sebuah akun lain secara mengiba-iba menceritakan suaminya yang
‘menghilang’ begitu saja, meninggalkan dia dan anaknya yang masih
berusia 8 bulan, plus setumpuk utang di perusahaan tempat sang suami
bekerja.
Anda yang kebetulan ‘berteman’ tapi tidak terlalu dekat dengan pemilik akun tersebut mungkin merasa tak habis pikir, “Kok, urusan tak suka menyeterika saja di-share? Nggak penting banget, deh.” Atau, “Apa dia tidak malu mengungkapkan hal-hal pribadi seperti itu?”
Nyatanya, itulah informasi yang banyak berseliweran di Facebook, Twitter, dan berbagai media sosial lain. Dan yang lebih aneh, betapa pun sepelenya informasi yang dibagi, tetap saja ada teman atau follower yang memberi komentar atau setidaknya memberi jempol (like). Menurut Ratih Ibrahim, psikolog dari Personal Growth, media sosial, khususnya Facebook, awalnya memang lebih banyak digunakan sebagai media silaturahmi, untuk menghimpun kembali teman-teman lama atau kerabat yang selama ini terpisah dan terpencar entah kemana. Namun silaturahmi atau kangen-kangenan ini tentunya tak bisa berlangsung selamanya, sehingga pada tahap selanjutnya Facebook lebih banyak digunakan sebagai sarana sharing dan ajang pamer.
Yang di-share dan dipamerkan macam-macam, mulai dari resep dan foto masakan tertentu, foto saat liburan atau kongkow bersama para sahabat, hingga foto-foto dan cerita tentang kegiatan anak dan cucu kesayangan dari menit ke menit. Tampaknya, semakin spread out informasi yang disebarkan, makin puas hati orang yang mengunggahnya.
Ratih mengatakan, pada hakikatnya semua makhluk hidup –hewan, tumbuhan, manusia– memiliki kebutuhan dasar untuk berbagi (baik dengan kerumunannya maupun dengan makhluk hidup lain) agar bisa bertahan hidup. Berbagi menjadi lebih penting lagi pada manusia, karena kita dianugerahi kelebihan berupa akal budi. Tak sekadar untuk survive, tapi lebih dari itu, untuk mengaktualisasikan diri dan menunjukkan eksistensi, yang pada akhirnya akan menciptakan kebudayaan (baru) dari waktu ke waktu. Dan yang tak kalah penting, sharing juga bisa digunakan sebagai katarsis untuk melepaskan ganjalan di hati dan pikiran.
Berkembangnya teknologi media sosial memberi penyaluran bagi kebutuhan berbagi itu. Bahkan orang-orang yang introver sekalipun tetap bisa berbagi lewat media tulisan atau gambar/foto. Apalagi di jagad maya (cybersphere), identitas pengunggah bisa disembunyikan atau dipalsukan. “Berkembang pesatnya budaya berbagi ini juga didukung oleh kepemilikan smartphone yang sekarang sudah bersifat individual. Hampir setiap orang memilikinya, paling sedikit satu, secara pribadi –tidak seperti telepon rumah yang umumnya dipakai ramai-ramai,” ujar Ratih.
Namun, kebebasan berekspresi nyaris tanpa filter yang diberikan secara luas di dunia maya –dan di Indonesia didukung oleh era Reformasi– pasti ada sisi baik dan buruknya. Akun Twitter milik Anies Baswedan, misalnya, gencar mengajak anak muda Indonesia untuk ikut menjadi relawan dalam gerakan ‘Indonesia Mengajar’ yang digagasnya. Atau,mungkin Anda masih ingat dengan imbauan yang beredar luas di media sosial pada tahun 2009 untuk mengumpulkan uang receh (atau dikenal dengan sebutan ‘Koin Prita’) untuk membantu Prita Mulyasari –seorang ibu rumah tangga yang dituntut oleh sebuah rumah sakit di Jakarta karena dianggap telah menyebarkan fitnah –membiayai upaya perlawanan hukumnya.
Edited from Pesona.co.id
Anda yang kebetulan ‘berteman’ tapi tidak terlalu dekat dengan pemilik akun tersebut mungkin merasa tak habis pikir, “Kok, urusan tak suka menyeterika saja di-share? Nggak penting banget, deh.” Atau, “Apa dia tidak malu mengungkapkan hal-hal pribadi seperti itu?”
Nyatanya, itulah informasi yang banyak berseliweran di Facebook, Twitter, dan berbagai media sosial lain. Dan yang lebih aneh, betapa pun sepelenya informasi yang dibagi, tetap saja ada teman atau follower yang memberi komentar atau setidaknya memberi jempol (like). Menurut Ratih Ibrahim, psikolog dari Personal Growth, media sosial, khususnya Facebook, awalnya memang lebih banyak digunakan sebagai media silaturahmi, untuk menghimpun kembali teman-teman lama atau kerabat yang selama ini terpisah dan terpencar entah kemana. Namun silaturahmi atau kangen-kangenan ini tentunya tak bisa berlangsung selamanya, sehingga pada tahap selanjutnya Facebook lebih banyak digunakan sebagai sarana sharing dan ajang pamer.
Yang di-share dan dipamerkan macam-macam, mulai dari resep dan foto masakan tertentu, foto saat liburan atau kongkow bersama para sahabat, hingga foto-foto dan cerita tentang kegiatan anak dan cucu kesayangan dari menit ke menit. Tampaknya, semakin spread out informasi yang disebarkan, makin puas hati orang yang mengunggahnya.
Ratih mengatakan, pada hakikatnya semua makhluk hidup –hewan, tumbuhan, manusia– memiliki kebutuhan dasar untuk berbagi (baik dengan kerumunannya maupun dengan makhluk hidup lain) agar bisa bertahan hidup. Berbagi menjadi lebih penting lagi pada manusia, karena kita dianugerahi kelebihan berupa akal budi. Tak sekadar untuk survive, tapi lebih dari itu, untuk mengaktualisasikan diri dan menunjukkan eksistensi, yang pada akhirnya akan menciptakan kebudayaan (baru) dari waktu ke waktu. Dan yang tak kalah penting, sharing juga bisa digunakan sebagai katarsis untuk melepaskan ganjalan di hati dan pikiran.
Berkembangnya teknologi media sosial memberi penyaluran bagi kebutuhan berbagi itu. Bahkan orang-orang yang introver sekalipun tetap bisa berbagi lewat media tulisan atau gambar/foto. Apalagi di jagad maya (cybersphere), identitas pengunggah bisa disembunyikan atau dipalsukan. “Berkembang pesatnya budaya berbagi ini juga didukung oleh kepemilikan smartphone yang sekarang sudah bersifat individual. Hampir setiap orang memilikinya, paling sedikit satu, secara pribadi –tidak seperti telepon rumah yang umumnya dipakai ramai-ramai,” ujar Ratih.
Namun, kebebasan berekspresi nyaris tanpa filter yang diberikan secara luas di dunia maya –dan di Indonesia didukung oleh era Reformasi– pasti ada sisi baik dan buruknya. Akun Twitter milik Anies Baswedan, misalnya, gencar mengajak anak muda Indonesia untuk ikut menjadi relawan dalam gerakan ‘Indonesia Mengajar’ yang digagasnya. Atau,mungkin Anda masih ingat dengan imbauan yang beredar luas di media sosial pada tahun 2009 untuk mengumpulkan uang receh (atau dikenal dengan sebutan ‘Koin Prita’) untuk membantu Prita Mulyasari –seorang ibu rumah tangga yang dituntut oleh sebuah rumah sakit di Jakarta karena dianggap telah menyebarkan fitnah –membiayai upaya perlawanan hukumnya.
Edited from Pesona.co.id
0 komentar:
Posting Komentar