Anak perempuan saya (8) selalu menolak mengerjakan pekerjaan di rumah, padahal, saya bekerja. Adakah triknya? - Fiona, Bogor
Jawab:
Anak usia ini mulai mencari identitas diri alias jati dirinya. Pada masa perkembangan ini, sering terjadi pertentangan dengan lingkungannya. Ia melakukan sesuatu semaunya sendiri.
Nah, dalam proses perkembangannya, ada yang sesuatu yang berubah, baik secara fisik mau pun psikologis. Misalnya, fisiknya tiba-tiba menjadi besar atau sering diberi label dengan mengatakan, “Kamu sudah besar. Masih aja susah dibilangin. Berkali-kali disuruh membersihkan kamar, tapi selalu aja tidak dilakukan,” dll. Itu sebabnya, dalam perkembangannya terjadi pertentangan.
Dalam proses pencarian jati dirinya ini, perkembangan yang akan muncul adalah emosi. Ketika emosi itu aktif atau bergerak, anak berusaha mengendalikan. Jika dalam prosesnya ada intervensi orang tua atau lingkungan dengan menekan, memarahi, atau meremehkan, emosi tersebut akan bekerja dengan keras dan pada akhirnya anak dikendalikan emosi dan bukan anak yang mengenadalikan emosi.
Contoh anak mengendalikan emosi adalah ketika disuruh melakukan sesuatu, ia malah marah, cemberut, menendang, atau membanting pintu. Lalu, dia melakukan apa yang disuruh. Ini merupakan suatu bentuk anak telah berjuang melawan emosi penolakan.
Bila anak melakukan dan mendapat apresiasi, secara otomatis ia merasa berhasil. Sebaliknya, jika setelah melakukan sesuatu, anak dimarahi atau penerimaan orang tua tidak baik, ia akan merasa dirinya gagal melawan dan akhirnya melarikan diri dari pengendalian emosi dan mengikuti emosinya.
Bagaimana cara menghadapinya? Ketika Anda ingin menyuruh, perhatikan apa yang dilakukan anak, berinteraksilah dengan dirinya, ia sudah menerima kita, dan barulah Anda menyuruhnya. Akan lebih baik lagi jika Anda mendengarkan apa yang dikatakannya dan berinteraksilah dengan sentuhan (Anda tidak perlu berbicara atau memberi nasehat ketika menyentuhnya).
Apa lagi? Jadikan anak sebagai teman dan sahabat, sehingga ia siap mengekspresikan apa yang dirasakan. Lalu, perkenalkan emosi yang sedang bergerak. Misalnya, saat kesal, katakan saja, “Kamu sedang kesal, ya?” atau “Kenapa? Lagi marah?” Jangan lupa, berikan senyuman, selalu menatap matanya, dan mulai menyuruh dengan satu perintah.
Konsultan: Drs. Abubakar Baraja, Psi (parenting.co.id)
Jawab:
Anak usia ini mulai mencari identitas diri alias jati dirinya. Pada masa perkembangan ini, sering terjadi pertentangan dengan lingkungannya. Ia melakukan sesuatu semaunya sendiri.
Nah, dalam proses perkembangannya, ada yang sesuatu yang berubah, baik secara fisik mau pun psikologis. Misalnya, fisiknya tiba-tiba menjadi besar atau sering diberi label dengan mengatakan, “Kamu sudah besar. Masih aja susah dibilangin. Berkali-kali disuruh membersihkan kamar, tapi selalu aja tidak dilakukan,” dll. Itu sebabnya, dalam perkembangannya terjadi pertentangan.
Dalam proses pencarian jati dirinya ini, perkembangan yang akan muncul adalah emosi. Ketika emosi itu aktif atau bergerak, anak berusaha mengendalikan. Jika dalam prosesnya ada intervensi orang tua atau lingkungan dengan menekan, memarahi, atau meremehkan, emosi tersebut akan bekerja dengan keras dan pada akhirnya anak dikendalikan emosi dan bukan anak yang mengenadalikan emosi.
Contoh anak mengendalikan emosi adalah ketika disuruh melakukan sesuatu, ia malah marah, cemberut, menendang, atau membanting pintu. Lalu, dia melakukan apa yang disuruh. Ini merupakan suatu bentuk anak telah berjuang melawan emosi penolakan.
Bila anak melakukan dan mendapat apresiasi, secara otomatis ia merasa berhasil. Sebaliknya, jika setelah melakukan sesuatu, anak dimarahi atau penerimaan orang tua tidak baik, ia akan merasa dirinya gagal melawan dan akhirnya melarikan diri dari pengendalian emosi dan mengikuti emosinya.
Bagaimana cara menghadapinya? Ketika Anda ingin menyuruh, perhatikan apa yang dilakukan anak, berinteraksilah dengan dirinya, ia sudah menerima kita, dan barulah Anda menyuruhnya. Akan lebih baik lagi jika Anda mendengarkan apa yang dikatakannya dan berinteraksilah dengan sentuhan (Anda tidak perlu berbicara atau memberi nasehat ketika menyentuhnya).
Apa lagi? Jadikan anak sebagai teman dan sahabat, sehingga ia siap mengekspresikan apa yang dirasakan. Lalu, perkenalkan emosi yang sedang bergerak. Misalnya, saat kesal, katakan saja, “Kamu sedang kesal, ya?” atau “Kenapa? Lagi marah?” Jangan lupa, berikan senyuman, selalu menatap matanya, dan mulai menyuruh dengan satu perintah.
Konsultan: Drs. Abubakar Baraja, Psi (parenting.co.id)
0 komentar:
Posting Komentar