Minggu, 20 April 2014

Pahlawan dan Ibu RUmah Tangga

Pahlawan pastilah lahir dari rahim seorang ibu kendati tidak setiap ibu melahirkan pahlawan. Pahlawan tidak ingin mendapat sanjungan dan tanda jasa sebagai pejuang. Perjuangannya dilakoni secara lillahi ta'ala untuk mengusir kezaliman dan memajukan nusa bangsa dan agamanya.

Sikap seperti ini tentulah didorong oleh asuhan sekaligus doa restu ibunya yang tulus, tidak bulus. Karena itu, seorang pahlawan tidak meributkan balas jasa ataupun pensiun sebagai pejuang, juga tidak mempersoalkan jasadnya dikubur di mana.


Ibu rumah tangga (IRT) berpeluang melahirkan dan menjadi pahlawan. Dalam koridor emansipasi dan kesamaan jender, pahlawan yang dilahirkan bisa lebih banyak dan berkualitas. Ia bisa menggugat bukan hanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), melainkan juga perolehan hasil usaha pasangannya yang tidak wajar. Bisa juga ia menolak untuk bekerja di luar rumah ketika anaknya masih menyusui dan perlu pengasuhan.

Mungkin ini "ilusi" bila yang terjadi justru IRT "bosan" dengan statusnya yang dipandang "hina" dan kurang penghargaan sehingga menuntut bekerja di luar rumah dengan banyak meninggalkan anaknya. Padahal, bisa jadi statusnya diperlukan membangun generasi tangguh.

Intelektualitas IRT tampak semakin penting di era kemajuan peradaban seperti disampaikan almarhum KH Rusyad Nurdin pertengahan 1988. Fenomena yang ada memerlukan penjelasan yang dapat diterima nalar dan dipatuhi anak. Banyaknya kasus aliran sesat, anak yang menjadi pelaku ataupun korban kejahatan perlu dipandang sebagai upaya sistematis merobohkan konstruksi generasi bangsa.

Banyaknya ibu yang "gemar" menciptakan kegiatan di luar rumah untuk bisnis, karier, arisan, PKK, atau Dharma Wanita diharapkan tidak bersifat permanen agar tidak memudarkan "aura" IRT sebagai sosok mulia. Bisa jadi ketika masih belum punya anak, atau anaknya sudah dewasa kegiatan tersebut menjadi bagus. Sewaktu buah hati lahir dan merangkak besar, meninggalkan rumah bersama anaknya bisa mempererat ikatan keduanya sekaligus untuk refreshing dan tidak kurung batok. Namun, ketika dilakukan secara rutin, perlu ada kesepakatan baru di rumah tangga.

Mengubah "image"
IRT merupakan pekerjaan mulia yang kesadarannya datang terlambat. Secara nasional, ada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang bisa menempatkan perempuan sesuai struktur dan kultur yang ada. Sebagai komunitas terkecil, keluarga bermotorkan ayah dan ibu. Ketika tugas mencari rezeki di pundak ayah, mengasuh anak bertumpu pada pundak ibu.

Dipilihnya ibu, tentu tidak lepas dari hubungan emosional terdekat dengan figur yang mengandung, melahirkan, dan menyusui. Hubungan emosional yang terus dibina dan dikembangkan dengan kapasitas intelektual yang memadai akan menjadikan seorang ibu mampu mendampingi, membentengi, dan memberikan solusi bagi persoalan yang dialami anak-anaknya.

Perkembangan anak secara psikologis ataupun biologis tidak bisa dibiarkan tanpa pengasuhan. IRT tentu saja tidak boleh kalah oleh banyaknya kelompok relawan yang mendeklarasikan diri sebagai pendamping anak ataupun remaja. Keberhasilan melakukan pendampingan diindikasikan dengan semakin banyaknya perilaku anak remaja yang saleh dan berkurangnya perilaku salah. Pertumbuhan jumlah anak remaja saleh yang semakin besar akan mendorong terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang baldatun thoyyibatun warrabun ghafur. Kehidupan semacam ini akan mempercepat juga pencapaian keadilan dan kemakmuran bangsa.

Barangkali IRT bukan "penganggur" dengan daster lusuh. Ketika dahulu ibu "dusun" melahirkan pahlawan, mestinya kini lebih banyak pendidikan yang semakin baik. Peran pemerintah menjadi sentral melalui program pemberdayaan perempuan. Sejarah pun menunjukkan bahwa IRT menciptakan pekerjaan yang dapat dilakukan sambil mengasuh anak melalui bercocok tanam. Konsep ini makin bertebaran dalam kehidupan modern di perkotaan, tinggal mengemas dan memanfaatkannya.

Mempersandingkan aktivitas suami-istri tentu lebih bermakna ketimbang mempersaingkan keduanya. KDRT mungkin saja lahir dari konsep "saing", bukan "sanding". Saling tuding atas kesalahan anak juga lahir darinya. Uang banyak dengan cara yang tidak halal bisa menjadikan asupan gizi anak tidak baik untuk pertumbuhan mental. Bila bangsa ini dijejali dengan anak yang bermental tidak sehat, apa kata dunia!

Anggota keluarga yang dimotori IRT perlu mempertanyakan sumber uang yang dibawa suaminya yang pejabat negara. Korupsi dan manipulasi uang rakyat dapat dicegah jika setiap IRT rewel dalam hal yang satu ini. Bisa jadi semua pejabat yang menzalimi, menguras uang rakyat atau jatah hidup bawahannya akan segera sadar bila IRT bertindak seperti itu.

Sentripetal-sentrifugal
Mendorong IRT mengasuh anak adalah tugas bersama. Pemberdayaan perempuan tentu tidak terlepas dari konteks tersebut. Perusahaan yang melarang suami-istri bekerja di sana bisa dikembangkan lagi. Banyak suami memilih berhenti bekerja untuk mengasuh sambil mengembangkan bakat pribadinya, seperti Bapak Ramadhan KH dan juga yang banyak dilakukan istrinya. Kondisi seperti ini perlu didukung pemerintah melalui insentif finansial, sosial, ataupun moral. Penghargaan semacam itu perlu diberdayakan di seluruh lini yang ada. Suami tidak perlu bangga dengan istri yang bekerja menyaingi dirinya, demikian sebaliknya, atau tidak boleh menghina istri ataupun suami yang berstatus IRT.

Terserah siapa yang mau jadi pahlawan. Yang lebih penting lagi adalah kesadaran menghargai pahlawan. Penghargaan yang dimaksud bukan dengan mengunjungi makamnya, melainkan teladan yang baik ketika ia hidup perlu "dilestarikan", sementara yang ditinggal belajar darinya. Ketika posisi ini diambil alih IRT, "jenderal" pun harus takzim kepadanya seperti Nagabonar. Dengan kelemahlembutan IRT, anak mendapat asah, asuh, dan asih dengan segenap jiwa raganya. Jika setiap IRT seperti itu, mungkin tidak ada cerita geng motor yang brutal, anak pelaku kejahatan, atau koruptor yang bicaranya tulus tetapi hatinya bulus.

Pemerintah perlu mendorong kegiatan PKK ataupun Dharma Wanita untuk tidak berlomba menciptakan kegiatan sosial yang berujung sok-sial karena tugasnya sebagai IRT jauh lebih mulia ketimbang kegiatan sosial itu sendiri. Keberdayaan IRT dalam mengasuh anak akan menjadikan lingkungan sosial sehat bagi banyak pejabat negara agar amanah dalam bertugas. Bisa saja pemerintah memilih pejabat dari keluarga dengan IRT yang baik dan sederhana, bukan dari yang royal dan arogan. Semoga banyak lahir pahlawan di negeri tercinta ini. Pahlawan dan Ibu Rumah Tangga


Oleh Asep Sumaryana

Sumber : Pahlawan dan Ibu Rumah Tangga http://bidanku.com/

0 komentar:

Posting Komentar