Rabu, 23 April 2014

Strategi Mengelola Kemarahan

Biasanya kita bertindak berlebihan karena kita memiliki harapan yang tidak realistis terhadap diri sendiri dan anak kita. Seperti para ibu pada umumnya, Anda mungkin merasa bahwa seorang ibu yang baik adalah ketika dapat mengurus segala situasi dengan tenang. Sebelum memiliki anak, Anda mungkin telah bersumpah untuk selalu bersabar dalam menjelaskan apa yang mereka harus lakukan dan jangan pernah mengucapkan, “Karena aku berkata demikian!” Atau Anda mungkin percaya (bukan tanpa alasan) jika seorang anak berumur 6 tahun dapat meletakkan pakaiannya dalam keranjang, bukan menaruhnya di lantai. Ketika hal itu tidak terjadi, Anda mungkin akan mengira ia malas karena ia tahu Anda yang akan melakukannya–dan inilah yang membuat emosi Anda naik hingga ubun-ubun.

Tetapi, rasa marah tidak selalu buruk. “Ini merupakan sebuah sinyal bahwa sesuatu pada hidup Anda tidak berjalan dengan baik, dan itu dapat menggembleng Anda untuk melakukan perubahan yang lebih baik,” ujar Lynne Knobloch-Fedders, PhD, direktur riset Family Institute at Northwestern University Evanston, Illinois. Seorang orang tua yang baik bukan mereka yang tidak pernah frustasi–namun orang tua yang menemukan cara untuk menghindari kegilaan dengan menggunakan strategi yang dapat menyelamatkan kesehatan mentalnya berikut ini.

Kenali Pemicu Amarah. 
Catatlah amarah Anda selama seminggu, tuliskan kapan dan dimana rasa itu muncul, dan juga apa yang Anda rasakan sebelum rasa marah itu terjadi. Apakah terdapat pola? Apakah emosi Anda meledak ketika Anda sedang merasa lapar? Catatlah petunjuk visual juga seperti mainan lego berserakan di sofa, pakaian kotor di lantai, atau tidak ada persediaan susu di kulkas. Hanya dengan bersikap sadar terhadap apa yang membuat Anda kesal akan membantu Anda bersikap lebih objektif terhadap situasi yang menyebalkan.

Memerhatikan Peringatan akan Badai. 
Kita semua merespons rasa stres dengan cara yang berbeda, jadi berusahalah untuk menyadari apa yang tubuh Anda katakan. Ketika Anda mulai merasa jantung Anda berdebar kencang atau perut terasa seperti diaduk-aduk, Anda dapat berkata pada anak-anak, “Mama akan marah; Mama butuh beberapa menit untuk menenangkan diri.” Jika memungkinkan, keluar dari kamar, melangkah keluar, atau hanya menutup mata Anda. Dr. Domar menjelaskan bahwa relaksasi singkat–relaksasi kuno seperti menghitung sampai 10 – akan berhasil dimanapun Anda berada: Tarik napas secara dalam dengan menggunakan hidung dan hembuskan dengan mulut. Ketika menarik napas, hitung secara perlahan dari satu sampai empat. Ketika menghembuskan napas, hitung mundur dari empat sampai satu secara perlahan.

Gennifer Birnbach di Yorktown Heights, New York, menyadari bahwa dirinya selalu bernapas dengan cepat sebelum ia meledak. “Jika saya mencoba untuk memakaikan baju anak-anak sehingga kita bisa datang ke suatu acara tepat waktu dan mereka mulai mengabaikan saya. Saat itulah saya mulai bernafas dengan cepat,” ujarnya. Segera saja, Birnbach pergi ke ruang tamu, memasang CD Motorhead, dan mulai menari ala robot. “Jika saya menyiasati diri saya untuk melakukan suatu hal yang konyol, anak-anak akan bergabung dan hal ini menjinakkan mereka. Kemudian mereka menjadi lebih mudah untuk mengikuti apa yang saya minta.”

Membuat Draft Rencana Damai. 
Tulislah hal berbeda apa yang Anda akan lakukan selanjutnya: Tawari si kecil yang sedang merengek (dan diri Anda) sebuah cemilan sehat sampai makan malam telah siap, atau bicara pada pasangan Anda untuk membantu Anda memaksa anak-anak bahwa pakaian kotor harus diletakkan di keranjang pakaian. Lyons yang selalu juggling dengan kelima anaknya, menemukan bahwa mendengarkan apa yang sebenarnya mereka butuhkan ketika mereka berteriak atau merengek akan sangat banyak membantu. Tidur siang? Sebuah pelukan? Penjelasan mengapa ia tidak boleh melemparkan yogurtnya ke lantai hanya karena tidak ada kismis di atasnya? “Dulu saya secara otomatis bereaksi seperti orang frustasi, ibu yang letih,” katanya.

Mendorong Tingkah Laku yang Anda Inginkan. “Kebanyakan dari kita adalah orang tua kuno–kita mengabaikan kelakuan yang baik dan memarahi yang tidak baik,” kata Debbie Gross, D.N.Sc., seorang profesor di John Hopkins School of Nursing and Medicine dan merupakan salah satu pendiri Chicago Parent Program dimana ia mengajar Effective Parenting Strategies. Dalam penelitiannya, mereka menemukan bahwa dalam sebuah 15 menit sesi bermain, para orang tua memberikan rata-rata 64 perintah.

“Apabila Anda membatasi jumlah peraturan Anda hanya yang terpenting saja, anak Anda akan mengikuti cara Anda,” ujarnya. Memberikan pujian tertentu (“Kamu sangat membantu mama ketika kamu membaca buku dengan tenang jadi mama bisa menyelesaikan pembicaraan”) dapat memenuhi permohonan Anda. Jangan berhenti sampai disana saja. Berikan pelukan dan ciuman untuknya. “Anak-anak biasanya menekan tombol emosi kita karena mereka menginginkan perhatian kita,” ujar Dr. Gross. “Sebuah waktu berdua akan menenangkan Anda dan si kecil.”

Ingatlah, Ini Bukan Masalah Pribadi. 
Lihat dari sudut pandang yang berbeda: Anak Anda tidak bermaksud untuk membuat Anda malu dengan menunjukkan tantrumnya saat Anda memberitahunya bahwa sudah waktunya untuk pulang. Anak Anda hanya seorang anak umur empat tahun yang sedang senang bermain dan benci jika harus pulang. Dengan begini, Anda harus merubah pembelaan terhadap diri sendiri yang sudah tertempel di kepala Anda (“Ibu-Ibu lain tidak harus berurusan dengan hal seperti ini”) menjadi sesuatu yang positif ( “Kejadian seperti ini dialami juga oleh para ibu lainnya; Aku bisa mengatasinya”).

Katakan Maaf. 
“Ketika anak-anak melihat Anda dapat mengatasi rasa marah, mereka akan belajar bagaimana mengatasi rasa marah mereka dengan cara mereka sendiri,” kata Dr. Knobloch Fedder. Tentunya, meminta maaf kepada mereka merupakan hal yang penting. Semuanya akan merasa lebih baik apabila Anda mengucapkan kalimat seperti, “Ibu merasa sangat sedih jika kamu menulis di dinding, tapi ibu tahu tidak seharusnya ibu berteriak seperti itu. Ibu minta maaf ya, dan mulai sekarang, ibu berjanji berusaha untuk bicara dengan tenang.” After all, esok hari merupakan hari yang berbeda (parentsindonesia.com)

0 komentar:

Posting Komentar